
BAHAGIA MENJADI GURU
Oleh: AHMADI, S.Pd., M.Si., Gr
Jika kita ingin
siswa kita di sekolah menjadi siswa yang berkualitas maka kualitas guru juga sangat
penting diperhatikan. Guru yang berkualitas adalah guru yang pantas untuk
bahagia, kebahagiaan guru memiliki pengaruh yang besar dan positif terhadap kompetensi
dan kreativitasnya di sekolah. Kebahagiaan ini tentu berkaitan dengan ranah
emosional. Emosi manusia merupakan unsur sangat penting yang sering diabaikan dalam
peningkatan produktivitas kerjanya. Padahal, jika emosi bisa dikelola dengan
baik dan tepat, dampaknya adalah meningkatnya produktivitas dan kreativitas
kerja seorang guru.
Kita sebagai seorang guru dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak selalu berpikir seberapa banyak imbalan yang kita dapatkan jika mengajar dengan baik. Selanjutnya apakah mengajar dan kebahagiaan itu sebagai dua hal yang sejajar. Tugas mengajar guru sering dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang sering diartikan sebagai beban atau kewajiban yang harus dilakuakan sebagai konskuensi dari sebuah pekerjaan atau profesi.
Namun sebenarnya kebahagiaan dengan mengajar itu merupakan dua pandangan yang sangat berhubungan. Menjadi guru adalah salah satu cara mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Banyak sekali para ilmuan memberikan pendapatnya bahwa jalan menuju kebahagiaan itu bukanlah tunggal melainkan sangat banyak. Ada kalanya hal yang membahagiakan menurut kita belum tentu membahagiakan bagi orang lain begitu juga sebaliknya. Salah satu alasan kita memilih profesi sebagai seorang guru adalah untuk memperoleh pendapatan secara materi.
Tentu saja alasan yang bersifat materialistik bukanlah hal yang salah. Sebagai seorang manusia, guru dalam keseharian perlu pemenuhan kebutuhan yang bersiafat materialistik. Bukankah setiap manusia pada dasarnya materialis dan tentu kita tidak akan menjadi manusia jika tidak materialis. Namun untuk mendapatkan kebahagiaan dalam menjalankan tugas sebagai seorang pendidik materi bukanlah jaminan. Meskipun pada tahap-tahap tertentu materi membuat manusia merasa bahagia. Akan tetapi banyak riset mutakhir menunjukkan perhatian berlebih pada kepemilikan materi adalah tidak sehat, demikian diungkapkan oleh Bambang Soegiharto, seorang guru di SMP Negeri 51 Bandung.
Lanjutnya, orang yang mamandang tinggi nilai-nilai materilistis cenderung lebih tertekan, memiliki lebih sedikit teman dan hubungan yang kurang stabil. Mereka punya rasa ingin tahu yang rendah, kurang tertarik pada kehidupan, dan lebih mudah jenuh (Suwarno, 2012). Tugas utama sebagai seorang pendidik pada dasarnya adalah menghantarkan peserta didik agar menggapai kebahagiaan dengan ilmu dan nilai-nilai yang kita tanamkan. Ketika kita berusaha menjalankan tugas-tugas sebagai seorang pendidik dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghantarkan murid-murid kita menjadi manusia-manusia yang bahagia, disitulah kebahagiaan kita muncul. Tidak itu saja ketika mampu mengorkestrasi kelas yang kita ajar menjadi harmoni kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan maka timbul sebuah kebahagiaan yang tentunya sulit kita ungkapkan secara verbal.
Menjadikan kegiatan mengajar sebagai bentuk kegiatan yang tak lepas dari aspek religiusitas akan menjadikan kita lebih bahagia. Konsep bekerja adalah ibadah menuntun kita untuk lebih mengedepankan imbalan yang bersifat akhirat dibanding duniawi. Dengan mengedepankan ketulusan dan keikhlasan saat membimbing siswa tentunya akan membuat hati kita lebih ringan dan sabar dalam mengahapai segala hambatan yang kita temui dalam kegiatan belajar mengajar. Ketidak ikhlasan justru sering menimbulkan kekecewaan.
Akibat dari ketidakikhlasan menjadi guru sangat mudah kita lihat, salah satunya adalah kita malas masuk untuk mengajar, atau kita sudah masuk namun kegiatan di kelas tidak berarti apa-apa, kita hanya menghabiskan waktu sekedar memenuhi tanggungjawab saja. Kadang kala kita juga tidak peduli dengan kondisi siswa kita apakah dia mau belajar atau tidak, dia bisa atau tidak kita justru tidak mau merespon apapun, inilah salah satu contoh ketidak ikhlasan menjadi guru.
Agar bahagia menjadi guru cukup tanamkan dalam diri kita bahwa kita adalah tombak perubahan orang lain, perubahan itu bisa jadi tampak dalam waktu singkat atau nampaknya baru puluhan tahun ke depan. Kita adalah guru, kita bahagia melihat peserta didik kita menjadi orang yang berhasil baik duniawi maupun ukhrawinya.
Penderitaan dalam jiwa akan terus dirasakan jika menjadi guru hanya sekedar mendapat pekerjaan, masalah yang datang terus menghantui, mengajar bukan lagi sebuah keikhlasan melainkan keterpaksaan, mengajar jika diawasi, disiplin jika diberi ancaman, inilah kenapa kita guru perlu sadar bahwa kita sebenarnya tidak perlu diawasi, tidak perlu diancam, tidak perlu di ingatkan, karena kitalah penasehat, kitalah yang mengingatkan orang lain, kitalah pemberi contoh disiplin, kitalah pemberi contoh semangat belajar, kitalah teladan.